Main Casts : Ara, Kang Daniel
Rate : G
Length : Series Fic
Genre : Drama
---------------------------------------
Tak banyak pemandangan indah yang bisa dilihat selama perjalanan dari Wiknyu menuju Jaeyem menggunakan kereta. Seorang gadis duduk berpangku tangan disalah satu gerbong kereta. Bangku di sampingnya kosong. Tatapannya lurus keluar menembus jendela kereta tanpa ekspresi. Tak banyak bangku kosong di kereta saat musim liburan. Beruntungnya ia, yang membenci keramaian berhasil duduk sendiri.
Dering suara telepon genggam menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Ia membaca nama yang terpampang pada layar telepon genggamnya dan segera menjawab panggilan. Ia sedikit menaikkan nada suaranya karena bunyi kereta yang cukup berisik sambil sesekali menggangguk. Segera ia menyudahi panggilan setelah terdengar pengumuman bahwa 15 menit lagi kereta segera sampai di stasiun Jaeyem.
Gadis itu dengan gontai berjalan menuju pintu keluar sambil sesekali menarik nafas panjang dan berusaha menghindari kerumunan. Seorang pria berdiri di pintu keluar sambil melambai ke arahnya. Gadis itu tak bisa menahan senyumnya dan segera berlari menuju pria itu. "Woojin!" teriaknya sambil memeluk pria itu.
Pria itu terdiam sambil mencoba melepas pelukannya. "Kak Ara, aku malu," jawabnya sambil melihat ke sekeliling. Gadis bernama Ara itu mencubit pipi adiknya, tak sanggup menahan keimutan pria 22 tahun itu. Woojin membantu Ara membawa barang bawaannya menuju ke parkiran. "Kak Nina menunggumu di mobil." Ara berjalan di samping Woojin sambil mengagumi tubuh tinggi adiknya.
---
Liburan kali ini dalam rangka Idul Fitri. Banyak orang yang berada di perantauan pulang ke keluarga mereka masing-masing, begitu juga Ara. Banyak hal yang dirindukan Ara, keluarganya, suasana rumah, lapangan samping rumahnya, dan seseorang di gang sebelah.
Tiga hari berturut-turut Ara dan keluarganya mengunjungi keluarga. Ada banyak orang yang harus dikunjungi dan berkunjung ke rumah. Ara tidak terlalu menikmati itu. Ia tidak benci berkunjung, ia benci dengan pertanyaan basa-basi yang menjurus kepada hal pribadi.
"Lho Ara, Bibi kira kamu bawa pasangan."
"Nina sudah punya anak tuh, kamu kapan Ra?"
"Kamu cantik Ara, tapi kenapa sampai sekarang masih sendiri? Apa perlu Paman bantu carikan?"
"Kamu tidak mau pacaran, bagaimana bisa membina rumah tangga?"
Semua pertanyaan tentang kapan menikah ini membuat Ara muak. Bukannya dia tak tertarik pada laki-laki atau hubungan semacam itu, Ara hanya mencoba mengerti bahwa hal semacam itu akan datang pada waktunya.
Ara merebahkan tubuhnya di atas kasur Woojin sambil mengganggu adiknya menonton DVD. "Pasti menyebalkan, ya?" tanya Woojin tiba-tiba. Ara menatapnya tidak mengerti. "Pertanyaan dari kerabat kemarin. Kakak tidak suka, kan?" Ara menghela nafas dan mengalihkan pandangan. "Mereka hanya khawatir, Kak. Di usia kakak banyak yang sudah menikah."
"Aku baru 24 tahun dan ada banyak hal penting selain menemukan pasangan. Mereka tidak perlu terlalu khawatir dengan urusanku. Ini masalah pribadi dan tidak seharusnya mereka mengulang pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun." Ara mencoba menahan emosinya.
"Aku setuju kakak tidak memiliki pacar, tapi paling tidak kakak tidak
diam saja saat mereka mulai memojokkan kakak. Hal itu menggangguku,"
Woojin mencoba mendapatkan perhatian kakaknya lagi.
"Aku masih tidak mengerti. Dulu waktu aku masih kuliah, mereka selalu menanyakan kapan aku wisuda, setelah aku wisuda mereka mulai menanyakan kapan aku bekerja. Setelah bekerja mereka mulai bertanya kapan aku menikah. Kenapa tidak tanya tentang pekerjaanku saja? Mungkin di tempatku sedang ada lowongan untuk anggota keluarga mereka yang masih menganggur. Pertanyaan semacam itu tidak ada habisnya, Woojin." Ara mulai kesal.
Baru saja ingin menenangkan kakaknya, terdengar suara ketukan di pintu kamar Woojin.
Tok... Tok...
"Ara? Tidak sibuk, kan? Bisa tolong antarkan ini ke rumah Bibi Ji Won?" kata Ibu Ara sambil membawa plastik berisi sesuatu. "Baju ya, Bu?" tanya Ara segera tegak dan menghampiri Ibunya. "Iya, Bibi Ji Won barusan telepon. Dia minta tolong bajunya diantar sekarang. Tolong Ibu, ya? Ibu lelah sekali." Ara mencoba mencari alasan tanpa bermaksud menolak Ibunya, "Bagaimana kalau Woojin saja yang ke sana?" Woojin sontak merasa keberatan "Kak, aku juga lelah gantian nyupir sama Ayah."
"Kang Dongho pulang, tuh. Katanya dia ada berita bagus untuk kamu, Ra."
Mendengar nama itu membuat nafas Ara sesak. Wajahnya mulai panas dan segera ia menjawab setenang mungkin, "Kabar baik?" tanya Ara disusul dengan helaan nafas panjang. "Baiklah, Ara kesana."
Segera Ara mengganti bajunya dan berjalan menuju rumah Bibi Ji Won. Jarak rumah Bibi Ji Won tidak terlalu jauh. Mereka hanya berbeda gang. Ara mengambil jalan pintas sambil mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia masih bertanya-tanya kabar baik apa yang akan dia dapatkan.
Bangunan berlantai dua itu berdiri kokoh, sama seperti Ara pertama kali ke sana. Tidak banyak yang berubah kecuali warnanya. Pohon Mangga dan rambutan masih berada di sana. Ayunan tua itu juga masih di sana. Halaman luas yang muat tiga mobil itu kini hanya terparkir dua mobil berwarna putih dan hitam. "Ah, pasti ada yang sedang keluar." kata Ara sambil berjalan menuju pintu samping.
Ara mengetuk pintu beberapa kali dan mendapati seorang wanita separuh baya memeluknya segera setelah membuka pintu. "Omo! Nae Ara!" kata wanita itu. Wanita itu mengenakan terusan batik dengan rambutnya yang mulai memutih. Ara hanya tersenyum sambil menyalaminya. Kerutan di samping matanya yang sipit itu membuat Ara tau bahwa orang yang sudah dia anggap Ibu sendiri ini tak lagi muda.
"Mari masuk," katanya sambil menarik Ara. "Mau makan apa? Aduh Bibi senang sekali Ara ke sini. Mau minum apa, nak?" tawarnya sambil menggenggam tangan Ara tak sanggup menahan rasa senangnya. "Ara cuma mau antar baju, kok, Bi," jawab Ara sambil menyerahkan titipan dari Ibunya.
"Ah, iya baju. Yeobo... Minhyuk-aah, Dongho-yaa, Daniel-aah. Ada tamu nih," teriak Bibi Ji Won ke arah lantai dua, sayangnya tidak ada tanggapan. "Sebentar ya, Bibi ke atas dulu. Anak-anak kalau sudah ngumpul suka gak dengar. Ara kalau mau cake ada di kulkas, ya. Ambil sendiri gapapa, kan?" Kemudian bayangnya hilang menuju lantai atas.
Ara berjalan penuh semangat menuju dapur, membuka kulkas dan mengambil sepotong cake coklat kesukaannya. Tak banyak juga yang berubah dari dapur yang dulu sering menjadi tempat makannya ketika Ara tidak suka masakan Ibunya. Dia hanya terseyum malu mengingat betapa bar-bar kelakuannya waktu kecil dulu.
Masih dengan cake di tangan, Ara berjalan menuju ruang keluarga. Tak bisa ia pungkiri, rumah ini punya banyak kenangan kecilnya. Dia pernah jatuh dari tangga saat balapan turun tangga dengan Dongho, di jewer karena berenang di parit depan rumah saat air pasang bersama Minhyuk, dan dikunci di gudang gelap di loteng bersama Daniel. Dia benci semua momen bersama Daniel. Di atas TV terdapat pigura besar yang menampilkan foto keluarga Bibi Ji Won.
Ara berdiri tepat di bawahnya sambil melihat foto itu. Foto itu diambil ketika Minhyuk masih SMA. "Ah, Minhyuk Oppa, andai saja saat itu aku lebih cepat dewasa, mungkin aku yang menjadi istrinya sekarang." kata Ara sambil melihat wajah tampan dan polos Minhyuk pada foto itu. "Tapi tak apa, aku masih punya Dongho Oppa," Ara terdiam, menutup mulutnya yang penuh dengan cake coklat sambil menahan senyum. Membayangkan betapa menyenangkannya bisa menjadi istri Dongho Oppa.
Menjadi istri seorang dokter adalah impian Ara, apalagi dokter itu adalah Dongho, pria yang mencuri hatinya bahkan dari hari pertama dia dilahirkan ke dunia ini. Sebelum khayalannya semakin jauh dan liar Ara segera menampar pipinya, mencoba bangun dari mimpi indah itu. "Ah, aku hanya harus menunggu kabar baik itu," kata Ara sambil mengalihakan pandangannya pada anak kecil yang tegak di samping Dongho. "Yang satu ini tidak ada bagusnya sama sekali," Ara memasukkan sisa cakenya ke dalam mulut.
Baru saja ingin menghidupkan TV, Ara merasakan ada sesuatu yang bergerak di belakangnya. Dengan ragu ia membalikkan badan dan mendapati seorang wanita cantik bermata sipit tegak sambil tersenyum dan membungkuk sopan, "Annyeonghaseyo," kata wanita itu.
Ara reflek membungkuk dan mengucapkan salam. Hening untuk beberapa saat. Ara mencoba mengingat wajah istri Minhyuk, Ara yakin ini bukan Lee Sungkyung. Ara juga tidak yakin kalau ini istri Daniel karena dia terlalu cantik untuk Daniel. Ara memberanikan diri untuk bertanya kepada wanita yang dia yakini tidak bisa bahasa Indonesia ini, "Nuguseyo? (Kamu siapa?)" belum dijawab oleh wanita itu, Bibi Ji Won turun dari tangga, "Paman Ha Neul, Dongho dan Daniel sedang keluar Bibi lupa." Bibi Ji Won berhenti dan mendapati Ara mematung di hadapan wanita tadi.
"Ara sudah ketemu sama istrinya Dongho?"
"ISTRI DONGHO?" Ara tidak percaya apa yang didengarnya. Matanya melebar dan nafasnya mulai tidak beraturan. Otaknya mulai mencari file berisi istri Dongho tapi tak ada satu pun informasi akurat yang ditemukan kecuali halusinasi Ara sebagai istri Dongho.
Terdengar suara mobil memasuki halaman rumah dan suara seorang pria yang Ara kenal baik memasuki rumah. "Chagiyaa (Sayang..)" kata pria itu berjalan menuju ruang keluarga tempat Ara berdiri sekarang sambil membawa banyak belanjaan. Ara semakin terkejut dan tidak mengerti situasi apa yang dia rasakan sekarang.
"CHAGI?!" tanya Ara hampir berteriak.
bersambung...
-jabaska-
Komentar
Posting Komentar
Thank you for visiting my blog. Kindly leave your sign in comment box below. I will visit back.
-sisgiok-